
Temuan Komnas HAM terkait pelibatan warga sipil dalam kegiatan pemusnahan amunisi TNI Angkatan Darat (AD) di Garut, menunjukkan adanya persoalan mendasar dalam tata kelola pertahanan dan sistem pengawasan kegiatan militer berisiko tinggi di luar kawasan tertutup.
Pelibatan warga sipil dalam proses pemusnahan amunisi militer oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Praktik ini dinilai tidak hanya membahayakan keselamatan warga sipil, tetapi juga melanggar prinsip-prinsip dasar hukum humaniter dan standar internasional mengenai penanganan bahan peledak militer.
Praktik yang Dipertanyakan
Baru-baru ini mencuat laporan keterlibatan masyarakat sipil dalam membantu proses pemusnahan amunisi kadaluarsa dan bahan peledak militer milik TNI di sejumlah wilayah. Kegiatan ini, meskipun mungkin dimaksudkan untuk efisiensi logistik atau pelibatan masyarakat, menimbulkan kekhawatiran karena bertentangan dengan protokol keselamatan internasional.
Dalam operasi yang melibatkan bahan peledak tinggi, hanya personel terlatih dari militer atau kontraktor bersertifikasi yang boleh dilibatkan. Pelibatan warga sipil, apalagi tanpa perlindungan dan pelatihan memadai, sangat riskan.
Bertentangan dengan Aturan Internasional
Berdasarkan standar dari International Ammunition Technical Guidelines (IATG) yang dikeluarkan oleh PBB, pemusnahan amunisi harus dilakukan oleh tenaga ahli dengan protokol ketat, demi mencegah ledakan tidak terkendali, pencemaran lingkungan, dan kecelakaan fatal. Pelibatan sipil tanpa pelatihan formal dan pengawasan langsung dianggap pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tersebut.
Organisasi internasional seperti Geneva International Centre for Humanitarian Demining (GICHD) dan Small Arms Survey juga menekankan bahwa proses pemusnahan amunisi adalah bagian dari demiliterisasi yang wajib dilakukan oleh personel bersertifikat, bukan masyarakat umum.
Risiko Kemanusiaan dan Hukum
Praktik ini juga membuka potensi pelanggaran hak asasi manusia, terutama jika tidak ada persetujuan yang jelas dan pemahaman penuh dari warga yang terlibat. Dalam beberapa kasus internasional, pelibatan sipil dalam pekerjaan berisiko tinggi seperti ini telah dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap Konvensi ILO No. 182 mengenai pekerjaan berbahaya bagi anak dan orang dewasa.
Selain itu, jika terjadi kecelakaan, TNI dapat menghadapi tanggung jawab hukum dan reputasi internasional yang tercoreng, terlebih jika tindakan ini dinilai sebagai bentuk kelalaian institusional.
Tuntutan Transparansi dan Reformasi
Sejumlah LSM, aktivis hak asasi manusia, dan pakar keamanan menyerukan evaluasi mendalam terhadap praktik tersebut. Mereka menuntut transparansi dari pihak militer dan pemerintah, serta pembentukan protokol nasional yang sejalan dengan standar internasional mengenai penanganan amunisi dan bahan peledak.
Pemerintah juga didesak untuk melibatkan pihak ketiga yang independen guna melakukan audit keamanan dan menyusun pedoman baru yang tegas dalam menjamin keselamatan warga sipil.